Fortventure ( Part I )



Benteng to Benteng,,, itulah tema perjalanan kali ini dan bukanlah Malang sebagai meeting pointnya, namun Yogyakarta. Kali ini peserta tidak hanya dari Malang namun dari Surabaya serta Jakarta. Kami memulai perjalanan dari Yogyakarta tepat pukul 06.30 WIB dengan disertai mendung nan syahdu dan hawa dingin yang jarang kami rasakan ketika kami di Yogyakarta. Seiring perjalanan menuju destinasi pertama, hamparan sawah nan hijau mendinginkan mata ini dan warga lokal yang mengayuh sepeda onthel menambah keteduhan pagi itu. Sebelum mencapai destimasi pertama, kami mengisi kekosongan perut ini dengan nasi berlauk lodeh nangka muda dan disambut dengan sepiring mendoan serta "Basur", sebuah nama yang asing dan ternyata adalah "Entok". Sedap dan dimasak dengan tulus, itulah yang tergambar pada makanan yang kami rasakan. Seperti disiapkan oleh nenek sendiri dan kami asik mengambil lauk disana-sini sambil bersenda gurau. Sang nenek hanya tersenyum-senyum melihat pengunjung yang berada di sekelilingnya 😃. Lepas dari warung tersebut, kami menuju ke destinasi pertama dengan tentunya merencanakan menikmati mendoan di hari esok.

Fort Cochius, yang saat ini lebih dikenal dengan Van der Wijck adalah destimasi pertama kami. Nama Cochius disematkan dari nama Frans David Cochius yang menjabat sebagai Komandan KNIL pada tahun 1835-1847, sedangkan Van der Wijck sendiri merupakan seorang Jendral Hindia Belanda dan nama tersebut berada pada salah satu pintu benteng. Fort Cochius mulai dibangun bersamaan dengan terjadinya Perang Diponegoro dan selesai dibangun pada tahun 1848. Fungsi utama Benteng ini sebagai markas senjata sekaligus bisa menjadi benteng pertahanan. Seiring berjalannya waktu, benteng tersebut menjadi Sekolah Kadet Militer Belanda. Benteng ini berbentuk segi delapan pada sisi luar, sedangkan persegi pada sisi dalam dengan gerbang besar melengkung mengarah keluar di tiap sudutnya. Dahulunya, terdapat sumur di bagian tengah Benteng, namun saat ini sudah ditutup. Bangunan ini terdiri dari 2 lantai sebagai ruangan dan hampir di setiap ruangan terdapat pengait yang tertempel pada dinding bagian atas, sedangkan lantai 3 berfungsi sebagai atap yang mana terdapat beberapa pintu dengan tangga melingkar yang mengarahkan ke atap di lantai 3, di sekelilingnya terdapat pedestrian untuk pemantauan daerah sekitar benteng, namun pedestrian tersebut, kini dijadikan tumpuan rel untuk kereta mini, sungguh menyedihkan 😕. Bagian atap benteng tidak dibuat menyatu, namun mengikuti jumlah ruang didalamnya dan melihat susunan batu bata pada dinding benteng terdapat pola yang mana setelah 4 batu bata disusun mengikuti panjangnya, 1 batu bata mengikuti lebarnya, atau biasa dikenal dengan konstruksi batu susunan silang. Pada bagian depan Benteng, terdapat sebuah bangunan panjang yang dahulunya diduga sebagai sebuah kantin. Tiang-tiang besi menjulang tinggi pada bagian tengah ruangan dan disertai dengan emboss merk perusahaan pembuatnya tertulis AGV, sedangkan tiang pondasi bangunan sendiri memiliki emboss motif seperti bunga pada bagian atas, menambah keindahan bangunan tersebut. Bangunan ini pernah berjaya sebagai destinasi wisata, namun saat ini perlu banyak peremajaan. Bertolak dari Fort Cochius, kami menuju destinasi kedua.

"Rumah Martha Tilaar", dibangun pada tahun 1920 oleh Liem Siauw Lam yang merupakan seorang pengusaha susu sapi dan sarang burung walet. Beliau merupakan pengusaha terkaya di Gombong, Kebumen. Dan tak lain, beliau adalah kakek dari Martha Handana sebelum menikah dengan HAR Tilaar. Berbeda dengan bisnis kakeknya, beliau terjun dalam kosmetika dan jamu. Pengetahuan tentang jamu didapat dari Mak Ojo (Pranoto Liem) yang merupakan Nenek Sambung dan seorang guru baginya. "Rumah Martha Tilaar" yang dahulunya sebagai rumah keluarga dan sempat ditinggalkan, telah diresmikan untuk umum di tahun 2014 sebagai rumah budaya dan museum. Pada area tersebut terdapat satu rumah utama yang terdiri dari teras depan, 4 kamar beserta 1 teras belakang. Sedangkan di sebelah kanan rumah, terdapat sebuah paviliun yang terdapat 2 kamar serta teras pada bagian tengah dan depan tentunya. Bangunan tersebut merupakan bangunan asli dari pertama rumah tersebut dibangun, sedangkan paviliun di sebelah kiri rumah utama merupakan tambahan yang dibuat persis seperti paviliun aslinya. Saat ini replika paviliun tersebut menjadi sebuah Cafe. Terdapat berbagai foto keluarga dari generasi ke generasi, perabot kuno serta taman yang berisi tanaman obat pada rumah tersebut yang menambah keapikannya. Denah rumah ini berlanggam Indische Empire sedangkan bangunannya lebih bergaya Eropa atau bisa disebut rasionalisme dan bentuk rumah saat ini cenderung masih sama dengan foto lawasnya. Membawa memory keindahan dari "Rumah Martha Tilaar", kami menuju destinasi selanjutnya, ya,, Cilacap. Sebuah kabupaten yang dahulunya sebagai kota pelabuhan yang mana merupakan satu-satunya kota yang memiliki dermaga pada abad 19, berada di tepi pantai, ujung selatan jawa pulau jawa, Cilacap menyimpan banyak keindahan didalamnya.

Fort Pendem, tepatnya berada di tepi pantai menjadi destinasi pembuka tatkala kami sampai di Cilacap. Benteng ini berfungsi sebagai benteng pertahanan, dimana dibangun pada tahun 1861 hingga 1879. Sebuah rancangan ulang benteng ini dibuat pada tahun 1864. Kami memasuki wilayah benteng dengan menyusuri bagian kiri benteng, yang mana disambut dengan ruangan-ruangan yang terdapat emboss diatasnya "1877" dan ternyata ruangan-ruangan tersebut difungsikan sebagai barak militer. Semakin kami masuk kedalam, semakin kami takjub karena ternyata terdapat kawanan rusa yang malu-malu menatap kami. Dan semakin kami menelusur, justru kami merasa malu sendiri karena rusa-rusa justru banyak berkumpul di area yang agak sulit untuk kami telusur karena liatnya tanah di area tersebut, ya ruangan-ruangan yang dahulunya difungsikan sebagai penyimpanan senjata pada bagian luar benteng. Kami berjalan ke bagian tengah benteng dan terdapat 4 Pilbox yang sempat digunakan Jepang setelah Belanda keluar. Tidak hanya Pilbox namun terdapat 4 tempat untuk Meriam yang dibangun sebelum Jepang masuk beserta 6 dudukan Mortir. Hujan sempat membuat kami berlari mencari tempat yang teduh namun sepertinya alam bersama kami karena hujan berhenti, menjauhkan kami dari aroma khas walet yang menaungi ruangan tempat kami berteduh di kala itu. Kami menyudahi perjalanan sore itu dan ditengah perjalanan menuju kendaraan, berjajarlah penjual ikan asin dan olahan laut lainnya yang sembari tadi sebelum kami masuk ke benteng sudah memanggil-manggil untuk dibeli. Namun, jika bukan karena masih ada perjalanan-perjalanan lainnya, mungkin tas ini sudah berisi jambal roti, peda, ikan layur dan tentunya terasi 😋.

Kami beranjak ke hotel yang hanya 10 menit saja perjalanan dari Fort Pendem, dan mulai bersih-bersih diri serta rehat sejenak. Setelah bersih-bersih, saya menyempatkan diri untuk pergi ke sebuah swalayan terdekat yang mana swalayan ini telah digembor-gemborkan sahabat saya, bukan karena lengkapnya swalayan tersebut namun lebih karena adanya sebuah kepercayaan besar dari sebuah keluarga untuk mempersilahkan seorang pengikut setia menjalankan bisnis mereka. Sepanjang perjalanan pulang dari swalayan tersebut, ketenangan saya rasakan karena tidak terdengarnya bunyi klakson, padahal lalu lalang kendaraan masih aktif, seolah masyarakat disana sudah saling mengerti satu sama lain. Sungguh berbeda dengan kota-kota besar. Namun percayalah, ketenangan ini tidak seirama dengan perut saya, angin laut bulan Juli membisiki telinga saya untuk mencari makanan khas laut dan syukurlah diamini oleh kakak-kakak tercinta saya 😍, sehingga kami memutuskan untuk makan seafood malam itu dan tentunya saya sendiri menambah ronde karena kejompoan badan ini 😂. Malam itu, kami lanjutkan dengan saling bercerita tentang Heritage tentunya namun kantuk mata ini tidak sanggup ditepis, satu per satu dari kami mulai masuk ke kamar hotel untuk beristirahat.


Sambung ke Part II...


#heritagegombong

#heritagekebumen

Komentar