Fortventure ( Part II )


Pagi menyingsing, namun matahari malu-malu untuk menampakkan cahayanya. Dan karena keteledoran tidak membawa jamu penangkal angin, akhirnya kaki ini harus melangkah ke minimarket. Berjalan pulang dari minimarket dalam mendung pagi itu, pandangan ini kembali tertuju pada deretan tungku serabi yang sudah mulai menyala perapiannya, yang sebelumnya masih disiapkan tatkala saya berangkat ke minimarket.  Berbekal 10rb rupiah, 5 serabi dengan topping gula merah sudah saya kantongi dan bukan saya saja yang menikmati serabi di pagi itu, beberapa warga lintas profesi juga menikmati kudapan tersebut sepertinya sebagai pengganjal sarapan sebelum memulai aktivitas kerja.

Sekitar pukul 06.00 WIB, kami menuju Pantai Teluk Penyu berharap ombak yang kami dapatkan tidak terlalu besar namun ternyata kami mandi ombak didalam perjalanan 😂. Syukurlah, jamu penangkal angin, serabi gula merah dan mendoan yang kami makan sebelum naik ke perahu, memberikan efek positifnya. Dari pantai menuju Pulau Nusakambangan, membutuhkan waktu 10 menit naik perahu jika ombak dan angin tidak besar, namun karena ini bulan Juli maka ombak dan angin cukup besar, sehingga kami membutuhkan rute melebar dengan waktu hampir 30 menit untuk mendayu-dayu di lautan. Ditemani pemandu lokal yang sekaligus pengemudi perahu, kami menuju pulau tersebut dengan bersemangat.

Begitu sampai di pesisir pulau, kami mulai melakukan briefing perihal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan tatkala kami memasuki pulau tersebut. Sekitar 10 menit berjalan menyusuri semak2, kami bertemu dengan Fort Banjoe Njappa. Lega dan takjub, itulah yang saya rasakan tatkala berada di depan Benteng. Menghirup memori lama kami memasuki benteng tersebut. Fort Banjoe Njappa, mulai dibangun pada 1840 sebagai benteng untuk pengamatan. Benteng ini terdiri dari 3 lantai dengan dihiasi struktur utama menjulang tinggi keatas dibagian tengah. Pada ujung atas struktur utama kemungkinan difungsikan sebagai Gun Pivot. Level bawah benteng dipergunakan sebagai tempat penyimpanan amunisi, bagian tengah menjadi hunian dan bagian atas sebagai tempat pengamatan. Menempel pada bagian dalam dinding terluar, terdapat sedikit sisa anak tangga melingkar keatas yang diduga  terdapat katrol didekatnya untuk menaik turunkan amunisi dan lainnya. Benteng ini disebut juga sebagai Benteng Klingker, Klingker kemungkinan nama pemberian yang berasal dari nama orang atau bahasa serapan dari benteng melingkar, namun sampai saat ini belum ditemukan nama tersebut dalam peta-peta lama. Karena pada tahun 1870an terdapat peta yang menyebutkan Benteng tersebut sebagai "Fort Banjoe Njappa". Dari benteng tersebut, kami memutuskan kembali ke pesisir pantai untuk naik perahu menuju benteng selanjutnya, karena jalan yang mengarah ke benteng tersebut memerlukan waktu 2 jam perjalanan darat dan medan banyak tertutup semak dan pepohonan.

Selama menaiki perahu, kami diingatkan kembali bahwa di pesisir pantai tempat kami berhenti nanti, banyak kawanan monyet hutan yang akan mendekat namun tidak perlu untuk menjadi takut, cukup was-was dan siaga. Kami mulai menyiapkan tracking pole atau kayu panjang karena perjalanan ini melalui jalan yang terjal serta elevasi yang ya... masih dikatakan Ok, namun perlu berhati-hati. Dihiasi dengan bebatuan karang yang mendominasi warna hijau, musik khas hutan serta hembusan angin yang tidak seriuh di Fort Banjoe Njappa, alam menyambut kami dengan keindahannya.

Setelah kurang lebih 15menit perjalanan, kami dipertemukan dengan jembatan yang terbuat dari  batang pohon, aliran air yang khas warna endapan mengalir dibawahnya dan tak lupa pohon aren yang menjuntaikan buah kolang kalingnya. Sebentar saja melangkah, kami dipertemukan dengan persimpangan yang uniknya terdapat jejak kaki macan tutul yang masih basah seolah menunjukkan raja hutan sedang berjaga. Persimpangan tersebut merujuk pada 2 sumur dan Pantai Karang Bolong jika kami melangkah ke kiri, dan kami memutuskan untuk lurus karena pemandangan yang indah akan segera kami temui. 

Sebuah gerbang dengan lengkungan di bagian dalam khas benteng menyambut kami, namun bukan telusur namanya jika kami langsung dipertemukan dengan bentengnya, kami perlu menaiki tangga zigzag yang saat ini sudah tidak tampak anak tangganya dan dipenuhi dengan akar pohon-pohon besar. Dan akhirnya, kami sampai di Fort Karang Bolong. Benteng ini berada pada posisi paling tinggi di sebelah timur cilacap, yang mana benteng ini difungsikan sebagai benteng pengamatan akan serangan dari kapal kapal yang masuk ke pelabuhan cilacap dan selanjutnya menjadi Benteng pertahanan. Benteng ini dibangun hampir bersamaan dengan Fort Banjoe Njappa. Kami memasuki benteng dengan beberapa anak tangga sebagai pijakannya dan kembali lagi takjub dengan keindahan didalamnya. Belum selesai kami dibuat takjub, sebuah lorong di bagian kiri benteng menyambut kami. Lorong ini mengarah kebawah disertai dengan anak tangga dan atap melengkung, kami perlu menyalakan senter dan berhati-hati melaluinya karena tidak lucu jika harus "melorot" berjamaah 😂. 

Pada ujung lorong tersebut, kami disuguhkan dengan lorong kembali namun lorong ini memanjang ke kanan dan ke kiri dengan saluran air yang memanjang pula di bagian lantainya. Ruangan-ruangan gelap mengisi lorong tersebut, namun hewan nocturnal sepertinya tidak terlalu menyukai tempat ini meskipun ada satu ruangan yang dikuasainya. Dari sekian ruangan tersebut, terdapat ruangan yang memiliki lubang dibagian lantai, yang kemungkinan adalah tempat penyimpanan amunisi. Kami memutuskan untuk berjalan ke arah kiri lorong menuju ke sebuah Pilbox, yang jika kita bersembunyi tentu tidak akan ada yang menemukan karena Pilbox ini masih utuh. Terdapat 1 ruangan didalam Pilbox ini dan saluran air pula di bagian lantainya. Keluar dari Pilbox, kami mengarah kembali ke lorong, kembali untuk menelusur ke sisi satunya. Terdapat dua Baterai Meriam peninggalan PD II yang berselang beberapa puluh meter saja.

Kami menyudahi untuk menelusur Baterai Meriam tersebut dan melipir ke samping benteng yang berbeda dengan arah masuknya, dimana terdapat sebuah bangunan dengan dua pintu di tiap ujungnya yang diduga sebagai gudang amunisi. Ditemani dengan suburnya tumbuhan-tumbuhan hijau yang jika di kota bisa menjadi tumbuhan hias, perjalanan ini sampai di sisi kiri gerbang Fort Karang Bolong. Belum tuntas sampai disitu, kami menuju dua sumur yang sedari tadi belum kami temui. Sebelum merasakan air sumur yang infonya merupakan air tawar, kami disuguhkan dengan jembatan kecil yang memiliki pagar pembatas jembatan berbentuk melengkung keluar di bagian ujung-ujungnya. Dahulunya, aliran air berada dibawahnya. Melihat ke dalam sumur, air dalam sumur tersebut sampai saat ini masih terisi namun lebih ke air payau. Selesai dari sumur, sesungguhnya, kami ingin kembali ke perahu dengan berjalan menyusuri pesisir pantai namun air sedang pasang sehingga kami kembali berjalan ke arah keberangkatan.

Dari peta lawas tahun 1874, sebetulnya terdapat satu lagi benteng di sebelah timur Fort Banjoe Njappa, "Battery Tjibelok" tertoreh pada peta di tahun tersebut, namun kami tidak dapat masuk ke dalamnya, karena masuk dalam kilang minyak perusahaan negara.

Kami menyudahi perjalanan di Pulau Nusakambangan, kurang rasanya waktu yang kami berikan pada Pulau ini karena tatkala kami terguyur ombak kembali, memori kami seakan "buyar" dan ingin untuk direfresh kembali. Tapi apalah daya, ombak kehidupan telah menanti kembali tatkala kami menapakkan kaki di Pantai Teluk Penyu. Dahulunya, ketika kita berdiri di Pantai Teluk Penyu, pandangan mata akan dapat melihat dengan jelas Fort Banjoe Njappa dan Fort Karang Bolong, disertai dengan rimbunnya hutan lebat di belakang namun yang terlihat saat ini hanyalah rimbunnya pepohonan yang bergoyang karena angin laut.

Kami kembali ke hotel untuk bersih-bersih dan bersiap untuk Check Out dan berlanjut menebus oleh-oleh yang telah kami idam-idamkan. Kami menuju sebuah gang kecil yang ternyata didalamnya terdapat toko oleh-oleh khas Cilacap, namun dari sekian banyaknya oleh-oleh yang telah kami pilih, kami tidak menemukan Yutuk dan ternyata sedang tidak musim. Tak apalah, mungkin Yutuk sedang istirahat untuk tidak ditangkap. Kami mencari makan siang yang khas Cilacap dan berkesempatan untuk menikmati Brekecek, sebuah sajian ikan laut dengan kuah asam kuning. Kuliner yang cukup untuk mengisi kerucukan perut ini meskipun lumayan susah untuk mendapatkannya.

Perjalanan di Cilacap berakhir di titik tersebut dan kami melanjutkan perjalanan ke meeting point kami yakni Yogyakarta. Tapi ditengah perjalanan, kami seolah diingatkan kembali agar suatu saat nanti kembali ke Cilacap, karena dalam sebuah pemberhentian dipertemukan dengan Yutuk yang sedari sebelum perjalanan kami dambakan.

FORTVENTURE, sebuah perjalanan yang kami inginkan untuk diulang kembali, terutama Pulau Nusakambangan. Karena dibalik rimbunnya pepohonan disana terdapat sebuah pertahanan akan keindahannya. Semoga kami diberi kesempatan untuk kembali lagi kesana, mengulang memori indah tersebut dalam naungan alam yang menorehkan kemolekannya...



#heritagecilacap

#heritagenusakambangan





Komentar