" Iya kah? ada kah disana? " itulah pertanyaan2 yang saya lontarkan tatkala diajak ke Gua Belanda di Watukosek, Pasuruan. Siapa sangka, terdapat beberapa Gua Belanda tepatnya pada bukit yang berada pada sebuah tikungan di Watukosek, Pasuruan . yang mana selalu saya lewati tatkala pulang dari Mojokerto ke Malang. Sekilas, mungkin tidak terlihat dengan jelas bahwa terdapat Gua Belanda namun ketika kita berjalan pelan, terdapat Gapura yang anehnya bertuliskan "Gua Jepang" menyambut untuk masuk kedalamnya. Menyusuri jalan setapak dengan semak-semak rerumputan di kanan dan kiri, kami menuju Gua pertama. Dan tentunya seperti Gua-gua lainnya, Gua Belanda disini dihuni kelelawar dan binatang khas penghungi Gua. Aroma pekat kelelawar dan suhu panas Gua menyambut kami tatkala memasukinya namun tidak menyurutkan kami untuk semakin masuk ke dalam Gua. Riuh kelelawar menyambut kami ketika masuk, kami mencoba untuk tenang dan terkendali sehingga kami dapat menyusuri Gua. Dan ternyata, gua-gua tersebut tidaklah tersambung satu dengan lainnya, karena kami tidak menemukan jalan tembusan atau buntu istilahnya. Pada sisi bagian atas gua, terdapat lubang udara kecil dan semakin masuk ke dalam, tanah yang kami pijak semakin basah, suhu semakin panas, aroma menyengat dan suara riuh kelelawar semakin asik untuk mengusir kami pergi dari teritorinya 😊. Kami memasuki 2 gua di kawasan tersebut dari sekitar 13 gua karena teramat rimbunnya semak-semak rerumputan dan sebagian gua masuk ke kawasan Pusdik Brimob Watukosek. Tak lucu jika kami terbuai menelusur goa dan tertembak peluru dari proses latihan tembakan Brimob 😂. Sebuah jawaban tersirat bahwa Gua-gua tersebut adalah buatan Belanda yakni ditinjau dari struktur yang rapi dan terencana, baik dari bentuk pintu gua yang memiliki kuncian batu pada bagian atas maupun struktur batu bata didalamnya. Struktur tersebut tentu berbeda dengan gua buatan jepang, yang terkesan tidak rapi dan tergesa-gesa, hal ini menambah pengetahuan saya mengenai perbedaannya.
Keluar dari gua-gua tersebut dan menuju jalan raya, kami melihat struktur jembatan lama yang dahulunya merupakan jalan raya, namun saat ini jembatan tersebut tidak dipergunakan dan berada sejajar dengan jalan raya utama. 2 lengkungan terbentuk pada area dibawah jembatan karena pondasinya-pondasinya serta aliran air yang masih ada menambah kesan indah pada jembatan tersebut.
Bertolak dari Watukosek, kami menuju Pasuruan dan mengisi amunisi perut ini dengan Nasi Punel, sebuah kuliner khas Pasuruan yang sejenis seperti Nasi Buk Malang. Selepasnya, kami berjalan sejenak ke Stasiun Bangil untuk melihat rumah-rumah kuno dan pagar jembatan lama yang masih utuh sampai sekarang. Matahari tidak malu lagi mencapai titik tertingginya sehingga membuat kami segera menuju destinasi selanjutnya. Dengan diiringi bangunan-bangunan kuno di sepanjang jalan yang justru membuat kami "melek" kembali setelah kekenyangan amunisi, kami berhenti di jembatan lama "Jembatan Kedunglarangan". 5 lengkungan yang terbentuk akan pondasi jembatan, masih terlihat megah sampai saat ini dimana bentuk jalur aliran air dibuat landai dan terbagi pada 5 bagian agar memecah arus sehingga arus air menjadi tidak besar.
Daroessalam Syariah Heritage Hotel, merupakan destinasi utama kami ke Pasuruan pada trip kali ini. mengutip dari informasi dari pihak Hotel, bangunan ini adalah rumah pribadi yang didirikan oleh Kwee Tjong Hook (1754-1841) yang kemudian diwariskan pada putranya yakni, Kwee Sik Poo (1847-1930) pada jaman dahulunya. Kwee Sik Poo dikenal sebagai Pengusaha Gula Besar pada era abad ke-19 yang juga pernah menjabat sebagai Kapitein Cina Pasuruan (1886-1926). Setelah wafatnya Kwee Sik Poo kepemilikan rumah diwariskan pada keturunan selanjutnya, yakni Kwee Khoen Ling (1879-1946) yang merupakan anak dari Kwee Sik Poo yang pernah menjabat sebagai Letnant Tionghoa pada tahun 1918 dan kemudian melanjutkan jabatan sang ayah Kwee Siek Poo sebagai Kapitein Cina Pasuruan (1926-1933). Namun pada tahun 1938, Kwee Khoen Ling mengalami kebangkrutan dan Rumah tersebut disita oleh Bank. Di tahun yang sama, rumah tersebut ditebus oleh saudagar Arab asal Yaman bernama Muhammad bin Thalib. Setelah wafatnya Muhammad bin Thalib pada tahun 1959, kepemilikan rumah diwariskan pada Fachri Thalib (1939-2015) yang wafat pada tahun 2015 dan kemudian diwariskan pada anaknya yakni Hanif Thalib. Sampai saat ini, rumah tersebut dimiliki dan dikelola oleh keluarga bin Thalib. Di bagian atap bangunan bagian depan ditambahkan kaligafri Arab dan aksara Latin bertuliskan "Daroessalam" yang berarti rumah/tempat yang aman dan terbuka bagi siapa saja. Sampai saat ini setidaknya Rumah Daroessalam telah mengalami setidaknya dua kali renovasi besar baik untuk menghindari efek kapilarisasi air tanah maupun pengecatan ulang seluruh bagian rumah. Berada dekat Hotel tersebut, kami diperkenankan masuk ke sebuah rumah di ujung jalan Halmahera. Rumah ini adalah sebuah Pavilion. Dahulunya, terdapat Pavillion kembar disisi lain dari area rumah utama yang mana Pavilion tersebut diperuntukkan untuk Kandang Kuda. Namun, saat ini kandang kuda dan rumah utama sudah tidak ada fasadnya.
Kami beristirahat sebentar di Hotel dan menikmati sejenak kemegahan masa lampau yang dapat kami temukan saat ini. Tentunya, tidak terlepas dari perawatan yang diberikan pemilik dan staff dari Hotel. Secara umum, terdapat 3 bangunan besar pada area ini. Rumah utama saat ini diperuntukkan sebagai resepsionis dan area untuk menerima tamu dimana terdapat kursi, lemari serta perabot-perabot kayu yang sebagian besar sudah berusia senja namun masih terjaga keapikannya. Jika kita masuk lebih dalam, terdapat 4 ruangan, dimana pada salah satu ruangannya terdapat lukisan pada bagian atas ruangan atau plafon sedangkan ruangan lainnya diperuntukkan menjadi kantor dan lainnya. Masuk lebih dalam, kita dapat menemui sebuah altar ibadah salah satu agama yang saat ini tidak difungsikan dan menuju ke area belakang rumah tersebut, terdapat tangga ke lantai 2 dan 3 namun area tersebut tidak diperuntukkan untuk umum. Pada area belakang rumah, terdapat sebuah kolam renang yang seperti menjadi oase ditengah teriknya matahari di Pasuruan.
Beranjak dari rumah utama menuju bangunan kedua, terdapat selasar panjang serta dihiasi lengkungan-lengkungan yang terbentuk dari tiang-tiang besar rumah, lantai-lantai nan cantik, kusen kayu dan kaca patri yang sudah ada sejak bangunan tersebut berdiri menambah keindahan pada selasar tersebut.
Bangunan kedua ini berada di sisi kiri hotel, dimana bangunan tersebut memiliki dua lantai. Lantai pertama berisi restoran pada area depan, yang kemudian disusul kamar-kamar hotel yang berbaris rapi di area belakangnya membentuk letter U menghadap ke sisi samping rumah utama. Sedangkan pada lantai 2 hotel, terdapat ruangan seukuran serta berada persis diatas restoran yang akan difungsikan sebagai cafe dan disusul dengan kamar-kamar hotel pula. Kami dipersilahkan untuk menempati beberapa kamar di lantai 2 tersebut. Bangunan tersebut tentunya disatukan oleh sebuah selasar seperti bangunan kuno lainnya namun selasar pada lantai 2 hanya diperuntukkan sebagai tempat duduk dan bersantai. Sebuah taman membentang dari restoran ke kamar-kamar hotel bagian belakang, dihiasi dengan sebuah kolam dengan beberapa air mancur, tumbuh-tumbuhan yang tertata apik dan elok menjernikan mata kami tatkala melihatnya. Jika kita berada di lantai 2, pandangan kita akan ditujukan pada 2 logo berbeda yang tertempel pada dinding bagian atas rumah utama. Bangunan ini dibangun semirip mungkin dengan bangunan asli yang dahulunya telah runtuh di tanah tersebut, sehingga tidak heran jika masih seirama dengan rumah utama.
Bergeser ke sisi kanan hotel, bangunan ketiga difungsikan sebagai kamar-kamar hotel dan disusul area parkir disampingnya serta pintu keluar menuju jalan Halmahera.
Tak terasa waktu berlalu cepat dan sore telah menjelang, kami menuju pelabuhan dengan harapan menemukan senja namun matahari malu-malu dibalik awan untuk memunculkan cahaya temaramnya pada laut yang menunggunya untuk pulang. Alhasil, deretan kapal yang terparkir disertai beberapa kapal yang mulai berlayar menuju petang di lautan, cukup membuat kami bahagia sore itu menandakan bahwa kehidupan laut masih aktif. Akan tetapi ini tidak diimbangi dengan hasil laut di sekitar pelabuhan 😃karena nyatanya, kami hanya menemukan satu saja tempat makan yang menyediakan sebagian seafood, lumayan untuk mengobati aroma laut yang sudah sedari tadi kami hirup tatkala masuk ke area pelabuhan.
Petang pun datang, kami duduk bersama di selasar lantai 2 untuk menikmati sajian makan malam dari berbagai kuliner lokal Pasuruan dan bercerita akan Heritage tentunya. Malam itu, kami sudahi dengan istirahat untuk menyambut esok, karena kaki ini akan melangkah ke bangunan-bangunan kuno lainnya.
Langit mendung dan matahari kembali malu-malu untuk memunculkan keindahannya namun itulah yang menjadi semangat kami untuk menyusuri Pasuruan di pagi itu. Langkah ini melipir ke arah timur Hotel menuju kawasan pusat perbelanjaan dan tentunya menikmati satu per satu bangunan kuno, baik rumah, paviliun, gudang, Gardu Aniem bahkan Klenteng yang kami temui sepanjang perjalanan. Dari bentuk bangunan, beberapa rumah memiliki konsep Rumah Couple namun banyak pula rumah utama yang disertai dengan paviliun di sampingnya. Langgam/gaya arsitektur sendiri mayoritas peralihan dari Indies Style versi lama ke Indies Style versi baru, namun ada beberapa rumah yang berlanggam Chinese atau kadang disebut rumah perahu.
Setelah 5 KM perjalanan pagi ini, kami mengisi amunisi dengan sarapan yang telah disediakan dari pihak Hotel dan bersih-bersih diri untuk check out lalu menuju destinasi-destinasi selanjutnya. Namun,, ternyata mata ini tidak sanggup menahan kantuk dan alhasil kami tidur sejenak sebelum check out 😃. Sungguh perjalanan kali ini adalah untuk "beristirahat" yang sesungguhnya baik dari pekerjaan maupun waktu yang terus berjalan. Akhirnya, kami check out sekitar jam 1 siang dan rasanya masih ingin berlama-lama di Hotel ini, tetapi kami harus pergi menuju destinasi selanjutnya.
Destinasi selanjutnya ialah Jalan Pahlawan. Ya, seperti kita tahu bahwa terdapat beragam bangunan kuno di jalan ini, baik itu rumah pribadi, cafe, gedung harmoni( yang saat ini diperuntukkan untuk sekolah ), PG3I, kantor pemerintahan serta sekolah umum lainnya. Pada trip sebelum2nya, kami pernah mengunjungi beberapa bangunan ini dan sungguh indah didalamnya serta banyak ilmu yang dapat pula dari kunjungan tersebut.
Matahari sudah mencapai titik tertingginya dan kami berteduh serta mengisi perut ini dengan kuliner yang terdapat pada jalan ini. Perjalanan ini belum berakhir karena masih ada satu lagi destinasi yang akan kami kunjungi. Apakah itu? ya, Sumber Soesoe Kasri atau yang saat ini dipergunakan menjadi Cafe. Bangunan tersebut berada disamping sebuah SPBU yang berada dekat dengan Masjid Cheng Ho. Terdiri dari 2 lantai dimana kusen, pilar, tangga serta beberapa bagian asli namun ubin di area utama telah ditutup dengan ubin baru begitupun di lantai 2, hanya di bagian dapur dapat kita temui ubin lamanya. Jika berada di lantai 1 dan menengok ke atas, palet kayu tebal masih terjaga dan jika kita keluar bangunan dan berdiri di sisi kiri bangunan, terdapat emboss di dinding yang bertuliskan Sumber Soesoe Kasri, samar-samar terlihat karena warna emboss sama dengan bangunan tersebut dan hampir tertutup kanopi luar bangunan. Belum banyak informasi terkait bangunan ini, semoga kedepannya akan ada informasi-informasi terkait bangunan kuno ini.
Dan, destinasi tersebut merupakan akhir dari trip kali ini. Sebuah trip yang menjadi oase kami untuk beristirahat sejenak dari hiruk pikuk kehidupan ini dan memberikan banyak warna baru tentang heritage di Pasuruan khususnya. Jadi,, selamat berjumpa pada trip selanjutnya 😉
#heritagepasuruan
Komentar
Posting Komentar