Pemanasan dulu ya....😊
Itulah kalimat yang diucapkan oleh Om Ir dari Indonesia Colonial Heritage ( ICH ) untuk mengawali trip tahun 2025 dengan judul "+444".
Kenapa "+444"??? Ini dia ceritanya.. 🚆🚆🚆
Perjalanan dimulai dengan sejarah Stasiun Kota Malang, Stasiun ini didirikan pada tahun 1879 menghadap ke arah timur yang terletak di Jl.Panglima Sudirman, dahulunya bernama Spoorstraat (Jalan Spoor), sedangkan posisi barat stasiun merupakan deretan gudang kereta api. Dibangun oleh Staatsspoorwagen (SS), dahulunya arsitektur Stasiun Kota Malang sama dengan Stasiun Pasuruan.
Stasiun Kota Malang sendiri berada pada ketinggian +444 mdpl, dimana saat itu Stasiun Kota Malang merupakan stasiun terakhir atau Stasiun Terminus, sehingga tidak heran jika dibangun pula Turntable untuk memutar arah lokomotif. Pada tahun 1941, dibangunlah Pintu Barat Stasiun Kota Malang bersamaan dengan perkembangan Bouwplan 2. Menghadap ke Jl. Daendels Boulevard yang saat ini kita kenal dengan Jl. Kertanegara, dahulu, jajaran Pinus Kipas membentang ke arah Alun-alun Bundar dan pada tahun tersebut pula Pintu Timur Stasiun Kota Malang dihancurkan sendiri oleh Belanda.
Masih dalam tahun tersebut, suasana ketakutan melanda dikarenakan berita terkait Jepang akan memasuki ke Kota Malang mulai menyebar, sehingga untuk mengantisipasi serangan udara dari Jepang, dibuatlah tempat-tempat yang dapat difungsikan sebagai Bunker. Salah satu yang saat ini dapat kita temui adalah lorong bawah tanah Stasiun Kota Malang yang mengarah ke koridor 2. Namun nyatanya, Jepang tidak masuk melalui jalur udara melainkan jalur laut.
1947, merupakan tahun dimana Belanda berusaha memasuki Kota Malang. Namun, para warga Malang berusaha menahan dengan cara menghanguskan bangunan adminisrasi, sekolah dan bangunan2 lain yang dibangun oleh Belanda termasuk Stasiun Kota Malang, peristiwa tersebut dikenal dengan Malang Bumi Hangus.
Berjalan ke arah selatan stasiun yakni Embong Brantas, teduh akan rimbun pepohonan masih terasa dan ternyata dahulunya di jalan tersebut terdapat Boulevard, namun saat ini hanya satu sisi jalan saja yang dapat kami lintasi. Pada tahun 1900-an tepatnya di ujung Jl. Trunojoyo terdapat Abattoir atau Rumah Potong Hewan (RPH), dahulunya penempatan area ini jauh dari pemukiman penduduk. Namun dikarenakan perkembangan daerah maka RPH dipindahkan ke daerah Gadang pada tahun 1935, yang diresmikan pada tahun 1937.
Bergeser sedikit dari tempat tersebut, terdapat sebuah jembatan yang merupakan jalur lama dari Blitar ke Malang. Dibangun sekitar tahun 1800 akhir, jembatan tersebut menggunakan kayu sebagai titian-nya dan berbentuk lengkung ke-bawah, tidak landai seperti saat ini. Sebutan Buk Gludug sebetulnya adalah jembatan ini, istilah Buk Gludug terbentuk karena suara roda Cikar maupun Dokar tatkala melintasi jembatan tersebut. Pada tahun 1930-an jembatan tersebut direnovasi sehingga menjadi jembatan yang saat ini kita temui. Namun, dibawah jembatan aspal tersebut masih terdapat struktur pondasi jembatan lama yang terbuat dari bata merah dan batu kali.
Dari kawasan Buk Gludug, kami mengarah ke timur yang mana terbentang jembatan kereta api. Dahulunya, di ujung jembatan terdapat Menara Garling ( Gardu Seruling ) yang mana dibuat oleh Jepang yang salah satu fungsinya sebagai tanda peringatan bahaya apabila terdapat serangan dari musuh.
Melangkahlah kami ke arah Pintu Timur Stasiun Kota Malang yang disambut oleh sebuah bangunan yang berada di ujung kanan jalan, dahulunya merupakan Societeit untuk para Perwira, yang saat ini difungsikan sebagai Korps Musik Militer. Di seberang Pintu Timur Stasiun Kota Malang, terdapat area militer yang didirikan sejak tahun 1800an atau kita kenal dengan Rampal.
Langkah ini sempat berhenti di perempatan Rampal, dimana di kawasan tersebut dahulunya terdapat beberapa hotel. Hotel hermin, merupakan salah satu hotel mewah pada masanya, namun tidak luput dari peristiwa 1947. Sempat dibangun kembali dan menjadi Kantor Kejaksaan namun sekarang beralih menjadi deretan ruko. Bergeser ke barat, terdapat Hotel Apolo yang saat ini masih terdapat sedikit fasadnya pada area muka hotel. Hotel apolo mengalami perubahan menjadi Pabrik Rokok The Ji Xiang, namun saat ini sudah dirobohkan.
Menuju ke perempatan Klojen, kami melewati Viaduct. Viaduct Klodjen ini dibangun pada tahun 1940, yang bertujuan agar jalur kereta api dapat lebih landai atau tidak curam mengingat elevasi Stasiun Kota Malang lebih rendah dari Stasiun Blimbing dan Stasiun Lawang. Mendekati akhir perjalanan, kami berhenti di perempatan Klojen. Dahulunya di sisi barat, terdapat area Makam Belanda yang sudah ada sejak tahun 1800 akhir, dan seiring dengan adanya Bouwplan 1 maka makam tersebut mulai direlokasi ke Sukun.
Sekianlah cerita dari trip Om Ir ICH hari ini, selamat berjumpa di trip-trip selanjutnya,,, bye-bye 😉
#heritagemalang
Komentar
Posting Komentar